Masa-masa "gelap"?



Dua hari yang lalu, kalau kalian nggak tahu, dunia baru saja merayakan Hari Kesehatan Mental. Terus terang, gue juga baru tahu ketika salah seorang teman gue mem-broadcast berita itu. Padahal gue mahasiswa psikologi. Gagal abis. :')

Beberapa saat setelahnya, instastory dari teman-teman psikologi gue penuh dengan quote yang berhubungan dengan kesehatan mental, atau ulasan-ulasan mengenai topik itu. Melihat unggahan-unggahan itu otomatis membuat gue mikir, "Kenapa gue juga mencoba membuat sesuatu untuk mengapresiasi hari itu--dengan cara gue sendiri?"

Setelah mempertimbangkan format dan media apa yang akan gue gunakan, gue memilih blog sebagai wadahnya. Alasannya? Karena gue bisa menulis panjang-lebar dan bebas. Di sini pun gue nggak berniat membeberkan teori soal sehat mental, atau apalah itu menurut pandangan psikologis. Gue hanya ingin sharing ke kalian tentang pengalaman yang menyangkut kesehatan mental gue.

Ketika kalian berpikir kalau orang yang mentalnya nggak sehat harus berasal dari keluarga yang 'rusak' atau dalam lingkungan yang tidak mendukung, mungkin pernyataan itu harus ditepis ketika membicarakan diri gue seorang. Secara garis besar, gue lahir dalam keluarga yang, sebenarnya, sangat baik. Nyokap sangat memanjakan gue, dan bokap memperlakukan gue dengan istimewa. Gue beruntung punya banyak kesempatan untuk mengembangkan potensi-potensi gue, dan menjadi salah satu 'pentolan' di keluarga gue. Gue nggak bisa memungkiri, kalau adik gue sering sekali merasa inferior ketika disandingkan dengan gue--dan hal itu kerap membuat gua merasa bersalah.

Jeleknya, gue jadi sangat bergantung dengan kedua orangtua gue. Gue jadi sukar sekali bersosialisasi. Karena apapun yang gue inginkan bisa terpenuhi, otomatis masa kecil gue berjalan dengan begitu mulus--kecuali dalam hal pertemanan. Sampai sekarang, gue merasa tidak nyaman ketika harus bicara dengan orang dan menciptakan kontak mata. Gue menghindari interaksi langsung, dan dalam beberapa pertemuan--sampai sekarang--gue seolah mencari perlindungan di balik pundak nyokap atau bokap gue. Gue sepengecut itu dalam bersosialisasi.

Ketidakmampuan gue menjalin relasi inilah yang membentuk masalah. Gue jadi kesulitan mengontrol diri. Gue kesulitan menentukan batasan-batasan apa saja yang boleh dan tidak boleh dibicarakan ketika mengobrol dengan teman, walaupun gue tahu mana yang benar dan mana yang salah. Seolah-olah refleks gue bisa saja menyeret gue ke arah yang keliru kapan saja. Ketika gue merasa sudah klop dengan seseorang, gue seolah mendedikasikan hidup gue ke orang itu: rela menghabiskan uang demi dia, rela menjadi 'pesuruhnya' (beneran, gue bener-bener rela disuruh apapun--selama orang yang menyuruh adalah dia), dan gue habis-habisan berusaha untuk menyamakan selera dengannya. Sampai sekarang pun, kebiasaan gue ini masih melekat.

Comments