Kalau Saja...



Kejadiannya sudah beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 28 Desember lalu.

Foto yang gue upload di siang hari itu—kebetulan gue sedang hang out bareng dua orang teman SMP gue di mall—mengundang satu komentar yang menarik perhatian.

“Aku juga di Artos.”

Seorang teman online gue, yang sama-sama passionate di bidang music, sekaligus salah satu orang yang selama ini hanya bisa gue ajak komunikasi lewat sosial media, bilang kalau dia ada di mall yang sama dengan gue saat itu. Kebetulan, ketika gue membaca notifikasi dia, gue masih ada di mall. Jelas, antusiasme gue naik.

Kita ketemuan di deket KFC aja, begitu gue balas. Dia pun meng-oke-kan.

Ketika kami ketemu, 5 menit pertama dihabiskan dengan basa-basi dan kecanggungan. Sebagai orang yang nggak inisiatif dalam percakapan, jelas situasi ini agak memalukan. Gue bingung—mau ngomong apa, nih?

“Udah di sini dari kapan?” gue berbasa-basi.

“Baru aja hari ini,” jawab dia.

Gue tanya lagi, “Terus, hari ini rencana ke mana? Di Magelang sampai kapan?”

“Hari ini cuma di hotel aja, sih. Besoknya baru ke Borobudur, terus langsung ke Jogja.” Dia ngejelasin.

Full touring, ya, ini berarti,” canda gue—yang terus terang, nggak lucu.

Dia cuma nyengir. “Iya.”

Lalu diam. Kita nggak tahu mau ngobrol apa lagi. Gue hanya bilang, “Kita harusnya bisa main (musik) bareng, nih. Jarang-jarang kan bisa ketemu.”

Mungkin kalimat itulah yang memancing dia. Dia tanya, “Tempat yang enak di sini di mana, ya? Aku mau cerita, nih.”

Wah, baru ketemu udah langsung diajak curhat. Gue pun langsung mencarikan café yang seenggaknya cukup sepi untuk ngobrol. Agak sulit, karena mall sedang rame-ramenya.

Dia pesan minuman, sedangkan gue nggak pesan apa-apa. Selain karena harga di café itu mahal banget, gue juga nggak terlalu suka. Baru setelah itu dia mengawali pembicaraan dengan satu pertanyaan yang—terus terang—langsung menohok hati.

“Ci (ya, dia lebih muda dari gue), kenapa cici milih masuk psikologi?”

“Waduh,” gue pun langsung ketawa. Padahal hati ini udah terasa diremas-remas. “Kok tiba-tiba pertanyaannya begitu? Emang mau ngomongin soal hal ini apa gimana?”

“Ya, soalnya apa yang aku mau omongin juga ada hubungannya sama ini,” jelasnya.

Jadilah gue mulai cerita.

Sebenarnya, psikologi bukan pilihan gue. Sama sekali jauh dari benak gue kalau gue akan menjadi seorang psikolog. Sekalipun gue suka baca buku berbau hal itu, bukan berarti gue mau mempelajarinya secara formal.

Impian gue sejak SMP adalah: fokus di music setelah lulus. Gue sudah menargetkan diri untuk masuk ke SMM (Sekolah Menengah Musik) Yogyakarta sejak kelas 2 SMP, tapi restu orangtua menghalangi gue. Mereka bilang, “Kamu SMA dulu di SMA biasa. Musik kan masih bisa les. Nanti waktu kuliah baru coba musiknya.”

Dengan target besok kuliah bisa masuk ke Institut Seni Yogyakarta, atau UPH, atau universitas manapun yang memfasilitasi jurusan musik (yang berkualitas tentunya), gue menurut. Gue sekolah di SMA swasta, dan gue tetap berusaha mengasah skill bermusik gue dengan ikut orkestra kecil-kecilan yang jadi ekstrakulikuler sekolah.

Masalahnya, ekstrakulikuler itu hanya berisi orang-orang yang nggak sepenuhnya passionate di bidang musik. Mereka hanya ikut karena kewajiban ikut ekstrakulikuler, atau sekadar senang main—apalagi orkestra ini tergolong sangat santai. Gue, terus terang saja, nggak merasa dapat ilmu tambahan apapun. Untung, pelatih orkes itu sadar kalau gue punya minat yang cukup tinggi, dan dia pun meminjamkan buku-buku latihan biolanya untuk gue.

Kesempatan gue untuk eksplor selama sekolah menengah pun dibatasi. Karena gue nggak bisa berkendara, otomatis nyokap-lah yang mengantar-jemput gue, sedangkan dia sendiri sibuk kerja. Jadi, kalau gue pulang, ya, harus langsung pulang. Sirkulasi gue selama itu hanya sekolah-rumah-tempat les. Ironis.

Saat SMA, gue juga ikut beberapa event. Tapi, balik lagi. Gue merasa belum terpenuhi. Belum kalau gue bisa bener-bener memusatkan fokus gue ke musik.

Karena itulah, menjelang kelas 3 SMA, gue kembali menagih janji ke orangtua. “Aku mau kuliah musik.”

Sialnya, permintaan itu lagi-lagi ditepis oleh orangtua gue. 

Banyak argumen yang mereka sampaikan, seperti, "Dengan kapasitas mainmu yang sekarang, kamu akan kesulitan survive di dunia musik. Persaingannya berat banget, dan nggak menjamin juga." Mereka juga bilang kalau, "Lebih baik cari jurusan yang bener-bener bisa kamu jadiin profesi. Musik itu cuma sampingan." 

Lalu bokap guelah yang menyarankan psikologi sebagai opsi jurusan. Katanya, gue punya daya ingat yang bagus, dan kemampuan empati yang bisa membantu gue 'bertahan' sebagai seorang psikolog. Dengan motif itu--juga karena ingin gue bisa melakukan terapi buat mengetes kesehatan mental bokap--masuklah gue ke psikologi. 

Alasan yang memperkuat gue masuk ke psikologi adalah: 

1. Gue bisa ambil jurusan music therapy untuk S-2, selulusnya dari psikologi
2. Selain musik, passion gue adalah menulis. Psikologi adalah tool yang sangat berguna untuk gue menciptakan karakter cerita yang bagus. Gue jadi belajar lebih jauh tentang character development (walaupun secara nggak langsung), konflik, dan hal-hal psikologis lainnya. 
3. Sekalipun menyakitkan, gue setuju sama orangtua gue. Gue masih harus belajar banyak untuk bisa masuk ke kuliah musik, apalagi universitas yang gue incar menuntut skill yang memadai. Gue masih harus mengejar banyak ketertinggalan gue. 

Dan itulah yang gue ceritakan ke temen gue. Barulah dia ganti cerita. 

Intinya hampir sama. Dia kepengin ambil jurusan musik, dan nyokapnya mengizinkan. Sayang, bokapnya nggak berpikiran sama--padahal dialah patokan pengambil keputusan di dalam keluarga. Malah, sang bokap menegaskan kalau, "Kamu nggak masuk Universitas X, kamu nggak kuliah." 

Padahal Universitas X adalah universitas favorit. Menempati peringkat tinggi di jajaran universitas yang ada di Indonesia. Bayangkan tekanannya seperti apa. Apalagi, dia hanya bisa memilih 3 jurusan, dan ketiganya adalah jurusan terfavorit di universitas. 

Double pressure, kan? 

Saat itu, yang gue sarankan adalah--cari unit kegiatan mahasiswa yang bisa tetap menunjang passion. Cari komunitas musik yang ada di area kampus, sehingga dia bisa terbantu untuk explore dan membuka peluang lebih banyak untuk berkarir di musik. Gue juga menyarankan jurusan yang sekiranya tetap bisa berguna dalam passion dia bermusik. 

Saran itu gue ucapkan berulang-ulang. Dan dia pun mengiyakan. Sekalipun begitu, gue tahu. Itu bukan saran yang dia inginkan. Mau gue sarankan seperti apapun, dia hanya ingin kuliah di jurusan musik. Bukannya ambil jurusan yang dia aja nggak suka. Dia nggak mau hanya menyematkan nama universitas di biodata sosmed-nya, tapi selalu bikin snapgram tentang kekesalannya salah jurusan. 

Yang menjadi kecemasan gue adalah, ketika dia sudah putus asa--dan amit-amitnya depresi--dia bisa kehilangan passion. Dia nggak lagi berminat di musik. Dia sudah menyerah, dan nggak mau lagi menyentuh apa yang dulu dia bener-bener kejar. 

Dia juga cerita, kalau salah satu teman kami yang lain--seorang musisi yang sudah punya cukup nama di dunia musik klasik karena kejuaraan yang dia ikuti--memutuskan untuk berhenti les piano dan fokus ke SMA-nya. Alasannya? Lagi-lagi karena orangtua nggak mengizinkan. 

Dan percayalah, kenyataan itu bikin gue marah. Gue sampai speechless, nggak tahu mau ngomong apa. 

"Apa iya, temen-temen musisi gue harus mulai rontok begini?" 

Temen gue juga sempat bilang, dia juga pernah konsultasi dengan guru bimbel-nya. Tanya soal jurusan kuliah. Ketika dia menyatakan kalau dia "mau kuliah di musik", komentar guru ini adalah: "Jurusan musik cuma buat orang bodoh." 

Ohoho, kalau sudah jadi gunung berapi, gue bisa meletus kapan saja.

Jurusan musik buat orang bodoh? Tahu nggak, mereka harus belajar teknik dan teori yang sama memusingkannya dengan kalian belajar ilmu pasti. Otak kanan-kiri harus bekerja, dan musik itu jauh lebih dalam dari sekadar hiburan di telinga kalian. Proses menciptakan musik itu nggak gampang, dan itu kalian anggap 'orang-orang bodoh'? Luar biasa sekali.  Pantas saja musik di Indonesia nggak berkembang. Orang-orangnya saja masih nggak suportif dan berpikiran sempit. 

Gue tahu, musik bukan profesi di mana kalian akan digaji secara konstan, dan prospeknya pun nggak pasti. Apalagi karena siapa saja bisa menjadi musisi, selama kalian punya potensi bermusik.

Tapi bukan berarti musik adalah sesuatu yang bisa kalian underestimate seenaknya saja, kan? 

Musik itu lebih dari sekadar "bisa main". Apalagi kalau kalian mau profesional dalam hal ini. Banyak hal yang harus dipelajari. Banyak aspek yang perlu diasah. Karena itulah sekolah-sekolah musik didirikan--walaupun memang, sekolah musik di Indonesia masih dalam tahap perkembangan untuk bisa mewadahi potensi muridnya secara optimal, tapi tetap saja ini menjadi incaran mereka yang berdedikasi di bidang ini. 

Ya. Gue kesal. Gue kesal dengan kenyataan pahit kalau musik masih menjadi sesuatu yang di-kelasdua-kan oleh masyarakat. Gue kesal karena banyak orang terlilit kasus salah jurusan karena keinginan mereka belajar musik nggak direstui. Gue nggak mau melihat orang-orang yang jadi menyerah sama keinginan mereka sendiri. Gue nggak mau melihta orang-orang yang bohong pada orang lain, dan lebih parah lagi--bohong ke diri mereka sendiri. Gue nggak mau melihat mereka yang sebenernya potensial di bidang musik jadi kehilangan percaya diri. 

Gue nggak mau melihat orang lain yang bernaasib sama kayak gue. Karena gue tahu banget, rasanya kayak apa. 

Itulah kenapa, ketika gue ketemu dengan seorang teman yang 'senasib' dengan gue, gue bisa dibilang mati-matian membantu dia selama kuliah. Karena gue nggak mau dia jadi makin stress dan ujung-ujungnya jadi nggak bisa fokus ke musiknya.

Obrolan kami kali itu ditutup dengan gue yang sudah dijemput nyokap. Kami berpamitan, dan gue hanya bisa bilang, "Semangat, ya." 

Tapi percayalah, apa yang gue omongkan itu bener-bener tulus. Semoga semangat yang gue kasih bisa tersampaikan ke dia, dan semoga keluhan yang gue tulis ini nggak cuma jadi 'bacaan' buat kalian. Semoga ada yang bisa diambil dari sini. 

Gue sangat berterima kasih buat orang-orang yang membantu gue survive di dunia psikologi, dan berhasil membuat gue percaya kalau path gue adalah di musik. Kalau aja gue memang ditakdirkan untuk nggak berkarya di dunia musik, mungkin gue nggak akan pernah ikut perform. Mungkin gue nggak akan pernah bisa jadi ketua komunitas musik, dan jadi punya banyak koneksi. Mungkin gue nggak akan pernah bisa rilis lagu gue, dan selamanya hanya bikin lagu lewat aplikasi. 

Itulah yang sangat gue syukuri sampai saat ini. 

x

Comments