From Timid to Arrogant

Menginjak dunia perkuliahan adalah hal yang baru buat gue. Ya, ini adalah kali pertama bagi gue untuk explore segala sesuatu sendirian--walaupun nggak literally sendirian. Gue harus berusaha survive dengan pasokan uang saku yang seadanya (ya, gue akui kalau gue belum cukup produktif untuk menghasilkan uang). Terlebih lagi, lingkungan yang gue tempati adalah tempat yang relatif baru dan berbeda dengan lingkungan yang bisa gue tinggali.

Memang sih, gue nggak kuliah terlalu jauh dari kota asal gue. Sanata Dharma adalah universitas yang gue pilih untuk berkuliah. Dan FYI, gue memilih jurusan psikologi. Satu-satunya orang yang sudah gue kenal di jurusan itu adalah temen gue yang memang sudah bareng gue sejak SD (damn). Selebihnya? Orang-orang asing yang ngobrol aja hanya via LINE.

Sekalipun begitu, dengan status gue yang sebelumnya terkenal kaku, gue khawatir soal kehidupan sosial gue di kampus. Apalagi di sini gue harus mandiri, dan bener-bener harus bisa beradaptasi. Man, what a challenge.

Gue cukup beruntung untuk nggak mengalami yang namanya OSPEK (dan sekarang diganti dengan nama inisiasi), sehingga nggak ada yang namanya perploncoan. Mostly, tiga per empat jam dari acara inisiasi dihabiskan di auditorium, lucu-lucuan bareng, dinamika bareng, dll. Selebihnya dinamika per kelompok di dalam kelas. Gue kenalan dengan banyak orang dari berbagai fakultas dan jurusan.

Hebatnya, di hari pertama gue ikutan inisiasi, gue langsung kenalan dengan anak-anak yang *ehem* kewarasannya patut dipertanyakan. Apalagi saat latihan dance jingle (yang terus terang nggak bisa gue hapalin--terlalu ribet), dan kita 'gila-gilaan'. Di situ gue merasa sangat lega, karena hari pertama gue nggak diakhiri dengan sia-sia. Terlebih lagi gue bisa ketemu dengan temen-temen gue yang satu jurusan.

Gue dan temen-temen satu kelompok inisiasi. Find me. 

Setelah inisiasi universitas, gue mengalami yang namanya inisiasi fakultas. Sayangnya, gue nge-drop sejak hari pertama, sehingga gue cuma bisa mengalami inisiasi fakultas hari pertama. Nyesel? Banget. Padahal gue sudah sangat enjoy dengan lingkungan dan acara-acaranya. Apalagi gue udah mengenal banyak temen di sana.

Ada rasa khawatir waktu gue cuma bisa istirahat di rumah, sedangkan yang lain berdinamika. Gue khawatir kalau eksistensi gue nggak akan diterima sebaik mereka yang sudah bareng-bareng selama 6 hari penuh. Gue cemas kalau gue dianggap hanya menghindari acara yang dikasih, padahal gue sudah sangat niat untuk ikutan aktif.

Oh, cerita sedikit. Karena satu dan lain hal, gue terpaksa menggunakan account LINE gue yang seharusnya dikhususkan untuk grup penulis fanfic anime--dimana gue memilih untuk menggunakan nama alternatif. Dan karena gue terlalu males untuk membuat dua account LINE di satu HP, gue memutuskan untuk juga menggunakan account itu sebagai account utama. Jadilah gue mendapat julukan 'Ayam'--adaptasi dari 'Ayame'. Julukan itu bisa dibilang eksklusif di satu angkatan psikologi--dan beberapa kakak tingkat yang juga satu jurusan. Geli, tapi juga seneng, karena ada sesuatu yang sudah terlebih dahulu stand out dari diri gue.

Lucunya, mereka masih bingung soal status gue--apakah gue seorang cewek, atau sebaliknya. Seolah-olah nama 'Ayame' bisa digunakan untuk cowok (memang bisa sih). Dan selama itu mereka penasaran, "Siapa sih yang namanya 'Ayam'?"

Karena itulah gue lebih suka menggunakan nama julukan ketimbang nama asli saat bareng temen sejurusan, karena justru gue merasa lebih dekat dengan nama panggilan itu. Dan sebaliknya, gue nggak nyaman saat temen SMA gue malah ikut-ikutan menggunakan nama julukan 'ayam' untuk memanggil gue. Kesannya beda.

Karena gue sudah berada di tahap yang baru, dengan lingkungan dan teman-teman yang baru pula, gue merasa perlu mengadakan gebrakan perubahan. Gue nggak mau jadi Amanda yang malu-malu dan nggak berani ngomong, padahal ngerti jawabannya. Gue nggak mau jadi sider, di saat yang lain sedang asik-asiknya mengobrol. Gue harus berusaha untuk menyatu, tapi nggak dalam rangka pencitraan.

Nyanyiin jingle inisiasi fakultas bareng-bareng. Percayalah, gue bahagia. 

Di situlah gue merasa kalau gue harus sombong.

'sombong' dalam konteks ini adalah berani menunjukkan kemampuan. Opini-opini gue yang biasanya cuma bisa terpendam sia-sia di otak kepengin gue sampaikan dengan berbagai media. Gue kepengin mencoba hal-hal yang selama ini gue belum pernah coba, tapi selalu menjadi passion gue. Gue ingin sekali menelurkan karya-karya yang nunjukin kalau gue itu berpotensi.

Silakan sebut gue sok, atau maruk. Ya memang itu kenyataannya. Gue memang sombong, dan gue memang maruk. Gue dengan egoisnya ingin menguasai berbagai field. Gue dengan sombongnya ingin menjadi optimal di setiap karya-karya yang gue buat. Gue dengan gaya yang berbeda berusaha bergaul dengan semua. Dari yang memang sudah notabene sangat dikenal, sampai ke mereka yang sama timid-nya dengan sosok gue saat SMA dulu.

Selain sombong karena ingin menonjolkan diri, gue juga sombong karena ingin sekali mengajari orang lain. Gue kepengin membuat orang yang awalnya nggak tertarik dengan hal yang gue senangi jadi partner in crime gue. Gue kepengin membuat orang lain yang nggak ngerti jadi paham. Sesombong itulah gue. Gue juga maruk dalam artian ingin mengenal semua orang. Nggak cuma dengan yang itu-itu saja, tapi juga dengan yang selama ini cuma papasan di lorong.

Kemarukan gue nggak berhenti sampai di situ saja. Kesombongan gue mendorong gue untuk ikutan berbagai UKM (unit kegiatan mahasiswa), supaya gue bisa semakin show off. Dari band jazz, jurnalistik, sampai radio universitas gue susupi satu demi satu. Bahkan kegiatan orkestra di luar kampus juga menjadi incaran gue. Di situlah gue mulai mengalami yang namanya bentrokan jadwal. Di saat gue harus latihan di jam tertentu, gue diwajibkan untuk mengikuti pertemuan di jam yang sama. Gue jadi belajar menentukan prioritas dan mengatur waktu.

Gue tahu, untuk mencapai semua itu gue akan kehilangan saat-saat santai gue. Gue paham konsekuensi dari setiap kegiatan yang gue ikuti. Gue berani mencoba, berarti gue harus siap kalah. Sesederhana itu konsepnya, namun tidak semudah itu untuk diaplikasikan. Gue tahu dan paham sepenuhnya tentang 'kontrak' yang sudah gue tandatangani.

Sebagai orang yang sangat cepat berubah, gue tahu akan ada saatnya gue memilih untuk mundur. Akan ada masanya gue berpikir, "kenapa gue terlalu maruk? Padahal tugas kuliah aja belum pada kelar.", dan akan ada kalanya gue stress karena terlalu banyak tanggung jawab.

But hey, you cannot state that life is sweet before tasting the bitter in it. 

Comments