Grammar Geek?


Kemarin, tepatnya tanggal 15 July, gue balik ke sekolah untuk ngambil berkas-berkas yang nantinya harus gue bawa saat daftar ulang.

Nggak seperti biasanya, gue datang saat yang lain bahkan belum muncul. Gue bener-bener datang pertama. Awkward? Udah jelas. Karena di saat yang sama guru-guru bermunculan di mana-mana karena ngurusin MOS. Karena gue memang tergolong socially (and mentally) nerd, gue memilih untuk duduk di deket TU dan... nggak ngapa-ngapain. Berusaha untuk memenuhi pikiran dengan ide-ide cerita (dan malah gagal).

Intinya, gue nunggu sekitar 2 jam untuk bisa dapet berkasnya. Lama, tapi bisa dimaklumi. Gue pun pulang dengan membawa ijazah, dan hasil UN--yang bener-bener mengundang kenangan jelek.

Iseng, gue bolak-balik kertasnya. Mencoba ngecek apa aja yang di-include di berkas-berkas itu. Salah satunya adalah lembar yang isinya semacam indikasi yang dikuasai saat ngerjain soal UN.

Pertama, gue ngakak. I mean, bener-bener ketawa. Nilai MIPA gue parah--jauh di bawah rata-rata, dan nilai yang masih bisa dianggap wajar cuma bahasa.

Gue sempet menyesali keputusan gue untuk masuk IPA. :")

Abaikan nilai bahasa Inggris, kita beralih ke bahasa Indonesia. Sebenernya gue menargetkan diri untuk bisa dapet nilai sebagus Kevin Anggara. Bayangin, dia dapet 98 untuk nilai UN bahasa Indonesia. Sayangnya, gue ketinggalan 12 poin dari dia. Sedih, tapi juga nggak sedih-sedih amat.

Indikator-indikatornya gue cek, dan gue kaget banget saat lihat...

Kemampuan menyunting ejaan dan tanda baca gue dapet skor 100. Grafiknya bener-bener mencapai angka 100.

Wow.

Pertama, gue betul-betul harus bilang makasih buat ko Kevin Anggara. Seandainya gue nggak jadi stalker setia di ask.fm-nya, gue nggak akan belajar gimana caranya nulis dengan ejaan dan tanda baca yang bener. Bahasa chat gue akan selamanya kelihatan alay (ya, gue akui gue alay), dan gue juga nggak akan se-sarkas sekarang. :")

Ya, gue bangga jadi orang sarkas. #ditendang

Dulunya, gue memang nggak terlalu peduli dengan tanda baca. Khususnya saat pembicaraan kasual di chat room. Gue hanya jadi grammar geek saat nulis.

Tapi lama kelamaan, gue jadi grammar geek di berbagai media. Di chat room, status, apalagi saat nulis. Gue bahkan memasukkan penggunaan grammar ke dalam daftar kriteria bacaan (walaupun dari dulu sebenernya juga gini).

Terlepas dari kekurangan gue yang sering nggak teliti saat nulis (typo everywhere), gue sering gemes sendiri saat baca orang yang... ejaan dan tanda bacanya berantakan. Apalagi kalau mereka udah SMA dan masih nggak tahu penggunaan imbuhan "di" dan "ke" yang bener.

Sombong? Mungkin. Tapi lebih baik terus terang daripada dipendam terus.

Waktu gue minta tolong salah seorang penulis yang udah lebih berpengalaman dibanding gue untuk me-review cerita yang udah gue buat, dia bilang:


Ini untuk menegaskan kalau gue nggak asal ngomong saat nulis. Ada bukti yang menyatakan kalau gue memang *ehem* grammar geek.

"Memangnya penting ya, ngurusin grammar kayak gitu? Yang penting kan cuma buat nulis surat, atau nulis cerita yang diterbitin."

Karena itulah banyak yang bilang orang-orang sekarang bermental malas. Nggak mau latihan sejak awal, dan ujung-ujungnya ngeluh.

Ketika gue disuruh jadi beta reader salah seorang penulis fanfiksi, gue pusing sendiri. Kesalahannya ada di mana-mana, dan penggunaan kalimatnya juga berantakan.

Emosi, tapi di situlah kemampuan gue diuji. Karena cara belajar yang paling baik adalah dengan lihat macam-macam referensi.

Gue nggak bisa menyalahkan orang lain yang memang sudah me-mindset diri untuk mengabaikan EYD/EBI di luar dunia formal, tapi gue tetep bertahan dengan prinsip yang sekarang.

Mungkin, beberapa tahun dari sekarang, tingkat grammar geek gue akan bertambah.

Mungkin.

Comments